Menulis

Akhir minggu adalah waktu untuk beres-beres. Sabtu, membereskan yang berantakan; Minggu, membereskan berbagai urusan yang tertunda. Sabtu, kutemukan mesin tik dari tumpukan sisa pindahan yang belum sempat dirapikan, dan Minggu kubersihkan mesin tik itu.

Bukan mesin tik Olivetti atau pun Smith-Corona yang kuidamkan, namun mesin tik kantoran biasa yang bisa ditemukan di kantor pada era 80-90an. Tembakan era itu bukan tak berdasar; ibuku terkenang akan masa-masa aktifnya ketika melihatnya. Beliau mencoba tapi sepertinya sudah lupa bagaimana cara menggunakannya. Di era layar sentuh, semuanya sudah sangat praktis. Salah ketik pun akan ada yang memperbaikinya dengan baik tanpa perlu menghapus dan mengetik ulang, dengan syarat baca kembali sebelum kata-kata itu diberikan kepada orang lain.

Dan, bukan hanya ibu yang terkenang melihatnya. Diriku pun terkenang melihatnya. Aku mewarisinya dari seorang kenalan, ketika aku melihat mesin tik itu dalam gudangnya. Kucoba mengetik menggunakannya, tak semudah menyalakan komputer, buka aplikasi, dan mulai mengetik. Ada serangkaian "ritual" untuk menyiapkannya; setel pita karbon, ambil selembar kertas dan kemudian putar knob (carriage knob?), hingga pada posisi "palu-palu huruf" dapat memukul kertas, atur margin, dan geser lever ke kanan. Dan geser-menggeser lever ke kanan perlu dipersiapkan ketika bunyi "ding!" dari bel di dalam mesin tik berbunyi. 

Persiapan yang panjang, bukan? 

Tradisi itu secara tidak langsung bagai transisi dari keadaan yang tidak fokus untuk meraih fokus. Bagiku, sulit rasanya untuk bergeser dari suatu titik fokus ke titik fokus yang lainnya dengan sangat cepat. Atau dalam bahasa sederhana, pindah fokus. Akan selalu ada yang hilang ketika aku memindahkan fokus dan akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali ke dalam keadaan fokus. Tak jarang, pekerjaanku tak beres karena seringnya hilang fokus itu; terutama di masa distraksi menjadi normal dalam kehidupan sehari-hari yang begitu cepat.

Kembali ke menulis. (Nah kan, sudah seberapa terpengaruh diriku oleh kehidupan moderen?)

Aku ingat kata-kata ini (meskipun lupa siapa yang bilang, demikianlah otak): Kata-kata adalah pintu batin. Bertutur kata, berkomunikasi, adalah kebutuhan, yang manusia tak akan menjadi manusia tanpanya. Menulis pun kegiatan berkomunikasi, baik intrapersonal bila tertulis dalam diari; maupun interpersonal, bila tertulis dalam media yang dapat dibaca orang lain. Namun percayalah, kelak tulisan siapapun akan menjadi media komunikasi intrapersonal dan interpersonal, seiring dengan waktu.

Ingatan melayang pada kisah Genie, anak gadis yang tak pernah diizinkan berkomunikasi dengan siapa pun, selalu disiksa oleh ayahnya. Ia menjadi manusia yang tak punya sisi manusia. Jiwanya tak tumbuh selayaknya. Ia tak berkomunikasi dengan siapa pun, yang hingga akhirnya menimbulkan berbagai masalah pada dirinya, baik secara psikologis maupun fisik. Orang menjauh darinya dan membuatnya hidup dalam kesendirian. Ceritanya cukup panjang dan buatku cukup memilukan; detail cerita Genie dapat dicari di Google, maupun Wikipedia.

Komunikasi amatlah luas. Ia tak hanya kata-kata. Namun juga simbol, seperti nada. Kata-kata tak hanya dalam bentuk berucap dengan mulut, namun juga dalam rupa tulisan. Ketika kau membaca tulisan ini, kita berkomunikasi, kusampaikan apa yang ada dalam pikiranku kepadamu. Balasanmu menjadikan komunikasi lengkap: dua arah. Dan lagi, balasan tak hanya berupa kata-kata dan tak harus berupa kata-kata. Senyummu pun membuat komunikasi menjadi lengkap... 

...dan melepas beban.

Inilah manfaat menulis yang sempat terlupakan olehku. Setiap kita memiliki beban dalam pundak kita, dalam pikiran kita. Ada kalanya beban itu tak terkira. Dan dengan menyampaikannya kepada orang lain, lepaslah apa yang membebani pikiran. Dengan respon mereka yang peduli; senyuman yang menumbuhkan kekuatan, ucap semangat kembali menyalakan api dalam hati yang menghangatkan dan menerangi. Dan, ada kalanya hanya dengan "curhat" jalan akan terbuka. Barangkali, bukan terbuka, hanya jalan yang sudah ada di depan tertutup oleh gelapnya mata; api kehidupan dalam padam.

Belakangan ini, beragam masalah menghantui. Kecemasan merajalela karena gelapnya mata. Gelapnya mata membuat seolah jalan tak dapat kutemui lagi; seolah hanya ada jurang yang menyambut entah dalam langkah keberapa. Dan karena itulah aku jarang menulis.

Hingga pada hari Minggu ini kutemukan kembali tulisan-tulisan yang dihasilkan dari mesin tik itu. Ada surat tanpa alamat tujuan, ada puisi pada beragam situasi, ada serangkaian cerita yang muncul di kepala entah darimana. Dulu, kehidupanku sama sulitnya namun berada dalam jenis kesulitan yang berbeda. Termenung, kusadari bahwa menulis adalah salah satu hal yang membantuku melewati badai-badai itu.

Rasanya tulisanku ini tak terstruktur ya? Sudah lama tak menulis. Aku akan kembali menulis, setidaknya kembali melatih... Untuk kembali bercerita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(m)IRC

Distro Hopping (1)

Harta