Silaturahmi
Tidak terasa sudah empat tahun kita lalui semenjak kasus pertama COVID 2019 yang menjadi awal mula pandemi di Indonesia. Situasi kala itu, setidaknya bagiku, mencekam. Hampir setiap hari selalu ada yang meninggal di lingkungan tempatku tinggal. Berita kematian dan grafik-grafik statistik penularan COVID menjadi headline dalam berita. PSBB diberlakukan dan Bandung seperti kota mati (walaupun saya tidak keluar sampai dengan Lebaran 2020 hanya untuk sekedar keliling kota menghindari keramaian). Interaksi sosial hanya terbatas pada online, bertatap muka melalui telepon dan teks, serta sesekali dengan video call.
Tahun 2021 malah lebih mencekam dengan adanya Delta, dan Lebaran pun tidak kemana-mana. Kasus kematian meningkat. Dan sedikit mengenang, tahun 2021 adalah tahun kesedihan dimana aku kehilangan salah satu orang yang memberikan begitu banyak pengaruh positif bagi kehidupanku; yang tanpanya mungkin aku akan tetap menjadi orang yang jauh lebih menyebalkan. Al-Fatihah untuk beliau, serta mereka yang telah mendahului kita.
Di tahun 2022, semuanya mulai lebih ringan. Kala itu Omicron "merajai" kasta virus COVID dengan gejala yang jauh lebih ringan. Waktu itu, saya pun terjangkit oleh Omicron. Menjadi kasus pertama bagiku, yang ada adalah panik sendiri. Hingga waktu itu beberapa kawan memberikan dukungannya dan Alhamdulillah sembuh tanpa perawatan yang rumit. Tentu, saat terjangkit COVID, saya "bersemedi" di kamar dan hanya terhubung melalui perantaan layar gawai.
Saat-saat itu menjadi titik balik. Kembali ke tahun-tahun sebelumnya, saya adalah orang yang cenderung anti untuk bersilaturahmi melalui layar gawai. Entah itu bentuk teks, gambar, atau pun audio/video. Tidak nyaman bagi saya untuk berkomunikasi melalui gawai, terutama WhatsApp yang sudah banyak pengalaman kelam chat menggunakan aplikasi itu. Dan dalam pengakuan yang lebih jauh, silaturahmi tidak menjadi prioritas bagi saya, setidaknya saat itu.
Dalam titik balik itu kusadari, layar gawai itu dapat menjadi pengantar untuk silaturahmi di dunia nyata. Pentingnya silaturahmi bagi kehidupan ini dan kehidupan setelahnya; amat banyaknya manfaat dari bersilaturahmi dengan hati yang tulus. Silaturahmi memperpanjang usia, meningkatkan kebahagiaan, dan melancarkan rezeki. Kalimat itu tidak cukup menggambarkan manfaat silaturahmi, namun setidaknya itulah yang terbayang olehku.
Pandemi adalah saat dimana kesepian merajai dan membabat social skills yang kita miliki; termasuk saya terbabat habis. Saya dari awalnya memang cenderung pendiam dan malu untuk berinteraksi, apalagi kepada mereka yang baru bertemu atau sudah lama sekali tak bertemu (p.s. ini latar belakangnya ketika saya disarankan untuk mengambil jurusan kuliah Ilmu Komunikasi). Setelah pandemi menjadi lebih ringan dan mulai bertatap muka kembali, komunikasi dengan tatap muka menjadi lebih sulit dari biasanya. Namun, perlahan mulai terbiasa kembali (walaupun adaptasinya masih belum seluruhnya sempurna). Tetap sulit untuk berinteraksi dengan orang baru, baik baru ketemu atau baru berinteraksi lagi.
Dan tentang kesepian. Saya tidak paham apa itu kesepian, tapi yang ada hanya terasa. Terasa sedih dan tak karuan. Hingga akhirnya diriku mengerti apa itu kesepian, barulah mulai berbenah. Dan dari mulai berbenah itu mula terasa gejala perasaan tidak karuan itu lebih ringan. Memang, perasaan jika tidak diberi label, ia hanya akan menjadi perasaan yang tidak karuan. Teknik tersebut disebut dengan "labeling", memberikan label identifikasi terhadap perasaan apa yang sedang dirasa, untuk kemudian ditindaklanjuti. Berkat isolasi dari pandemi ini, rasa kesepian sudah mengakar, sehingga mengobatinya lebih sulit. Namun pada sisi lain, kusyukuri itu karena ia menjadi titik balik sekaligus pengingat akan pentingnya silaturahmi.
Dan, inilah yang telat kusadari, yang baru-baru ini kusadari. Layar gawai dapat menjadi perpanjangan tangan untuk menjalin silaturahmi, apalagi di era saat ini. Cerita awal mengapa saya menjadi anti untuk berkomunikasi dengan gawai adalah karena saya tidak menyukai "landscape" medsos belakangan ini. Bagi yang sudah cukup tua untuk mengingat media sosial di dahulu kala, silakan mengenang betapa serunya Friendster dan Facebook kala itu; yang kala mencolek orang tidak akan membuatmu dibacok. Dan pada realita kini, media sosial dipenuhi berita bohong, kemarahan, dan flexing. Karenanya, saya tidak begitu memedulikan media sosial.
Namun, pada titik balik itu, kutemukan juga bagaimana menyaring hal yang membuatku tidak nyaman untuk menggunakan media sosial. Ada banyak cara untuk menyaring hal tersebut, namun intinya adalah arahkan fokusmu terhadap mereka yang juga sama-sama tulus membina silaturahmi. Dan bersama dengannya, kutemukan bahwa media sosial dapat menjadi pengantar untuk bersilaturahmi di dunia nyata.
Di momen lebaran ini, aku ingin memulai lagi silaturahmi dengan mereka. Memulai lagi pengantar-pengantar silaturahmi itu, dan kembali menghubungkan silaturahmi yang terputus maupun merajut tali-tali silaturahmi yang baru.
Mohon maaf lahir dan batin.
Komentar
Posting Komentar